Senin, 01 Agustus 2011

TV POOL - PRES SBY

Friday, 17 April 2009 04:59
Oleh: Dandhy D Laksono, freelance journalist

Sumber : JakartaBeat.net

————-

Sekitar pukul sebelas malam (Kamis, 16 April 2009), RCTI menyiarkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berdurasi 20-an menit dalam program bertajuk “Presiden Bicara”. Isinya klarifikasi SBY sebagai Kepala Negara atas tudingan berbagai pihak bahwa rezimnya telah bertindak curang dalam pemilihan umum legislatif, 9 April lalu.

Dalam pidato itu, SBY juga membabat habis argumen para lawan politiknya yang menuding pemerintah berada di balik kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Juga mematahkan tudingan bahwa Pemilu 2009 adalah pemilu terburuk setelah reformasi.

Di saat yang nyaris bersamaan, ternyata hampir semua stasiun televisi seperti TPI, Trans TV, ANTV, Indosiar, dan TV One juga menayangkan pidato yang direkam di Istana Negara siang harinya itu. TPI—satu grup dengan RCTI di bawah bendera MNC—bahkan mengemasnya dalam “Breaking News”.

Breaking news atau di media cetak dikenal dengan stop press biasanya dipakai untuk jenis berita yang benar-benar mendesak untuk disiarkan. Misalnya, malam itu Presiden SBY mengumumkan penurunan harga BBM saat TPI sedang memutar sinetron, maka bisa saja program itu dihentikan untuk menyiarkan hal itu. Atau ada bencana besar seperti gempa bumi dan tsunami.

Karena itu, sulit membayangkan mengapa redaksi TPI masih nekat menggunakan breaking news untuk sebuah pidato yang sudah disiarkan televisi lain sekitar lima jam sebelumnya.

Stasiun televisi lain yang dimaksud adalah SCTV. Stasiun milik keluarga pengusaha Sariaatmadja itu sudah menayangkan pidato SBY sejak sore di program Liputan 6 Petang, jam 17.30 – 18.00 WIB. Program berita yang durasinya hanya 30 menit itu didominasi pidato SBY sehingga hanya tersisa 1-2 item berita saja setelah adzan maghrib.

Usut punya usut ternyata tim SCTV-lah yang merekam pidato itu, dan hasil rekamannya dibagi-bagikan kepada ruang redaksi televisi lain. Komposisi kamera yang seragam setidaknya menguatkan hal ini.

Singkat kata, fenomena ini seperti TV pool di mana semua saluran televisi telestrial menyiarkan program yang sama di waktu yang hampir bersamaan. Secara teori, TV pool hanya bisa digerakkan oleh dua hal saja: pemasang iklan komersial dan alasan sosiologis-politis.

Saat Tien Soeharto meninggal pada April 1996, misalnya, semua televisi terkena “wajib relay”. Pusat kontrol siaran saat itu berada di RCTI, langsung di bawah pengawasan pengusaha Peter Gontha.

TV pool memang memerlukan koordinasi terpusat. Di masa Orde Baru barangkali tidak sulit mengorganisasi TV pool karena pemiliknya relatif sama: keluarga dan kroni Cendana.

Tapi kini tentu tingkat kesulitan politisnya lebih tinggi. Dibutuhkan sebuah super-body untuk bisa menggerakkan ruang-ruang redaksi televisi yang pemiliknya sudah relatif beragam ini. Dibutuhkan invisible hand yang mampu meng-gerilya para pengambil kebijakan di redaksi agar menyediakan durasi yang mahal itu, untuk memutar 20 menit pidato SBY.

Dalam struktur televisi, pemimpin redaksi tidak punya otoritas untuk menghentikan tayangan sinetron tanpa persetujuan direktur progam atau direktur utama, betapa pun informasi itu memiliki nilai berita tinggi. Karena itu, bisa dipastikan bahwa penayangan pidato SBY secara serentak Kamis malam, digerakkan oleh instruksi yang datangnya dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam kalimat langsung: para pemilik televisi lah yang mengotorisasi tayangan tersebut.

Apakah para pemilik televisi membuat konsensus atau hanya menjalankan perintah top down dari Istana? Itulah yang mesti dicari tahu.

Apa Salahnya ‘TV Pool’?

Lantas apa yang salah dengan siaran serentak pidato presiden?

Ini adalah masalah kaidah-kaidah jurnalistik yang ditabrak beramai-ramai oleh para pengelola stasiun televisi. Liputan 6 Petang SCTV, misalnya, mengalokasikan 20 menit lebih dari (hanya) 30 menit program beritanya untuk pidato SBY.

Dus itu berarti, ada lusinan berita lain yang dipangkas, dan berita-berita itu pastilah menyangkut kepentingan publik seperti flu Singapura, perkembangan ketegangan di Papua, gempa di Mentawai atau perkembangan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani KPK.

Publik membutuhkan informasi lain selain urusan pemilu dan konflik para elit politik. Dan ini yang dengan sengaja diabaikan.

Tapi baiklah, mungkin saja redaksi SCTV menganggap 20 menit pidato itu isinya memang penting semua dan memiliki kandungan nilai berita tinggi (news value), sehingga tidak perlu di-edit atau dicuplik bagian-bagian tertentu, melainkan digelundungkan begitu saja.

Demikian juga dengan kebijakan redaksi televisi lain. Saking tingginya nilai berita pernyataan SBY itu, sampai-sampai tidak sabar menunggu program berita regular malam atau pagi harinya, dan harus disampaikan saat itu juga, tanpa editing.

Tapi argumen ini tetap tidak bisa diterima secara jurnalistik. Selain janggal dari sisi alokasi durasi, ‘TV pool’ pidato SBY juga tidak mencerminkan sikap media yang obyektif dan imparsial.

Dalam konteks kisruh hasil DPT atau tudingan kecurangan pemilu, pemerintah (dalam hal ini presiden) hanyalah salah satu pihak dari sekian banyak pihak seperti KPU, Bawaslu, parpol peserta pemilu, organisasi non pemerintah pemantau pemilu, dan (terutama) para pemilih.

Apalagi, Presiden SBY sendiri-lah yang menyatakan dalam pidatonya malam itu, bahwa pemerintah bukanlah penanggung jawab pemilu, melainkan KPU. Bila demikian, lalu di mana letak nilai berita pidato SBY untuk mendapatkan durasi sepanjang itu?

Secara jurnalistik, semua pihak harus dipandang sejajar. Tidak ada yang lebih tinggi kastanya antara satu dengan yang lain. Opini Prabowo atau Megawati tentang kekacauan DPT, secara substansi memiliki bobot yang sama dengan keluh kesah (maaf) tukang becak bernama Bejo yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar. Juga sama bobotnya dengan pembelaan KPU, kritisisme Bawaslu, atau penjelasan Depdagri dan pemerintah.

Maka, bila SBY diberi durasi 20 menit di sebuah program berita reguler atau program khusus seperti di SCTV, RCTI, Trans TV, dan TPI, bagaimana bila para stake holder yang lain juga menuntut hal yang sama?

Katakanlah 10 elit parpol esok atau lusa menunjuk satu juru bicara untuk membalas argumen-argumen SBY, apakah stasiun televisi itu akan melakukan kebijakan yang sama? Atau akan memilih-milih yang dianggap penting saja, dan membungkusnya di program berita biasa?

Bagaimana pula bila Ketua KPU yang akan memberikan penjelasan rinci dan panjang lebar. Adakah ruang untuknya, sama seperti ruang untuk Presiden SBY?

Proporsionalitas tentu bukan soal durasi yang sama, tapi apakah pihak lain sudah mendapat kesempatan untuk mengutarakan semua perspektifnya. Inilah yang sangat diragukan bisa dilakukan secara adil oleh para pengelola televisi. Sama meragukannya dengan apakah Metro TV bisa memberikan porsi yang sama kepada pimpinan partai lain, selain menayangkan pidato-pidato politik Surya Paloh yang juga politikus Golkar.

Ini bukan soal siapa menjadi pemilik media apa. Stasiun-stasiun televisi itu menggunakan gelombang frekuensi yang sebenarnya adalah domain publik. Karena itu, industri televisi diatur sedemikian rupa melalui Undang Undang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers), maupun Pedoman Perilaku Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Maka, publik sangat berhak mengkritisi apa yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi terestrial itu.

Permainan Politik Pemilik Televisi

Sulit untuk tidak menduga bahwa ‘TV pool’ pidato SBY adalah buah dari patronase politik yang sedang dijalankan para bos-bos televisi yang merasa perlu merapat ke Istana. Tekanan dari Istana agar menyiarkan ini dan itu tidak akan terlalu banyak berpengaruh andai para pemilik media dan para elit redaksi memiliki dignity dan independensi.

Hubungan politik dan ruang redaksi televisi sebenarnya bukan barang baru. Pergantian direksi TVRI selalu diwarnai kericuhan karena terjadi tarik-menarik kepentingan hingga di DPR. Karyawan TVRI di masa Orde Baru adalah juga kader Golkar.

Pada tahun 2003, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI, Ivan Haris, mengundurkan diri karena menganggap stasiun televisi itu tidak independen dengan mengangkat pemimpin redaksi yang diduga akan mengusung kepentingan partai politik tertentu.

Tentu saja tudingan itu dibantah berbagai pihak. Tetapi, entah berhubungan atau tidak, sang pemimpin redaksi yang dipersoalkan itu memang diganti setelah Pemilu 2004 usai.

Tugas jurnalisme bukan mengakomodasi tafsir-tafsir politik sepihak semacam ini dengan menyediakan durasi berapa pun yang diminta negara atau yang mewakilinya. Jurnalisme tidak terikat dengan jargon-jargon semacam ini.

Tugas jurnalisme adalah memastikan apakah semua perspekif sudah terwakili sehingga penilaian salah benar akan ditentukan oleh publik. Jurnalisme tidak terikat dengan patriotisme kewilayan NKRI melebihi, misalnya, nilai-nilai kemanusiaan universal dan fakta-fata lapangan tentang pelanggaran HAM.

Pasal 9 Pedoman Perilaku Penyiaran menyebut, “lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas)”.

Oleh pasal 11 ditandaskan bahwa “lembaga penyiaran harus menghindari penyajian informasi yang tidak lengkap dan tidak adil”.

Sementara di Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers pasal 1 menyebut, “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.

Saking pentingnya prinsip ini, Dewan Pers menempatkannya di pasal 1, melebihi pasal lain. Dan tidak ada satu pun pasal dalam kedua aturan itu yang membolehkan hal tersebut dilanggar dengan pengecualian untuk kepentingan pemerintah atau tentara. Pengecualian hanya untuk kepentingan publik.

Seperti halnya profesi dokter yang menolong siapa pun yang terluka akibat perang, jurnalis tidak terikat dengan klaim-klaim politik siapa pun, baik formal kenegaraan maupun informal pinggir jalan.

Pemberitaan yang berimbang tentu tidak berarti harus memberikan porsi durasi yang sama, melainkan bagaimana semua perspektif telah diwakili. Namun durasi 20 menit hanya untuk satu versi, jelas mengindikasikan ketidakberimbangan yang telanjang.

Bila presiden merasa selama ini dirinya dimarjinalkan dalam pemberitaan seputar kisruh DPT dan tudingan kecurangan pemilu, maka ada 1001 cara untuk merespon hal tersebut, dan tidak perlu dengan gaya Orde Baru yang mendikte ruang-ruang redaksi televisi untuk menayangkan versinya sendiri

Kita perlu menanti apakah Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia cukup bertaring untuk mempersoalkan dan menjatuhkan sanksi kepada stasiun-stasiun televisi dalam kasus ini. Dan tidak hanya tegas dalam kasus Thukul Arwana dengan Empat Matanya atau almarhum Lativi dengan program Smack Down-nya.

About the author:
Dandhy Dwi Laksono adalah seorang freelance journalist. Pernah bekerja di berbagai media, baik cetak maupun eletronik. Ia pernah menjadi produser berita di radio dan juga stasiun TV swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar