RUTE KE BADUY
Untuk perjalanan ke Baduy, kami harus menggunakan beberapa moda-transportasi. Pukul 07.30 kami berkumpul di rumah Mr. Darman di Stasiun Rawabuntu, sekaligus sebagai base-camp. Dari stasiun Rawabuntu kami naik kereta ke Rangkasbitung dan tiba di sana sekitar pukul 10.30. Kemudian dilanjutkan dengan naik angkot ke Lebak (???). Sambil menunggu mobil carteran, kami beristirahat sekaligus makan siang di sekitar terminal. Menunya sederhana, tapi mantap luar biasa. Maklum dalam kondisi starving alias lapar berat.
Perjalanan dilanjutkan dengan naik mobil Elf ¾ yang kami-carter. Setelah menempuh waktu kira-kira dua jam perjalanan, dengan medan yang lebih meliuk dibanding ke Puncak, dan lebih seru dibanding rute Paris-Dakkar (soalnya belum pernah ke sana, siihh), maka kami sampai di sebuah desa yang merupakan perbatasan dan gerbang menuju ke kampung Baduy Luar dan Dalam.
Untuk menuju ke Kampung Baduy, kami harus berjalan kaki kurang lebih selama dua setengah jam (OMG : dua setengah jammmm) dengan naik-turun tiga-empat bukit, menyeberangi sembilan sungai dan beberapa jembatan bambu, keluar-masuk beberapa perkampungan Baduy Luar, belasan kelokan jalan pintas di tengah hutan, dan beberapa sawah dan ladang.
Bisa kebayang kondisi dengkul dan kaki ini. Karena memang hanya itu satu-satunya sarana untuk menuju ke sana, dan memang harus dengan berjalan. Jadi jangan berharap ada ojek ke kampung itu, apalagi ngarepin taxi lewat ##@%^&**$???!!!
Dan akhirnya…., alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah!! Kira-kira jam lima kurang kami sampai juga ke Kampung Cibeo, salah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam / Baduy Kajeroan. Dua kampung lainnya adalah Cikawartana, dan Cikeusik.
Jarak Kampung Cibeo – Jakarta adalah sekitar 120 km. (Gak percaya, bawa meteran-ukur sendiri!!)
Kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut (gak percaya juga…????) dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung.
Di sana kami di tampung di salah satu warga Cibeo, namanya Bapak Sarminah. Di rumah beliaulah, selama satu sore-satu malam itu kami tinggal, mengamati, menikmati dan merasakan sendiri kehidupan di sebuah kampung Baduy. Sebuah kampung terpencil, di tengah hutan dan jauh dari peradaban modern.
KEHIDUPAN A LA BADUY
Kami merasa takjub, kagum dan salut dengan saudara-saudara kita warga Baduy ini. Mereka begitu bersahaja dan sederhana. Hidup mereka begitu damai.
Di tengah-tengah kehidupan modern yang sangat hedonis dan materialistis, mereka mampu dan tetap mempertahankan adat-istiadatnya, utamanya dalam merawat dan memelihara alam.
Bayangkan, mereka hidup dengan tanpa fasilitas yang menurut kita merupakan standar pokok dan wajib ada.
Ø Di sana tidak lampu, tidak ada listrik (apalagi TV), tidak ada telepon (boro-boro wi-fi), tidak ada sumur, tidak ada kamar mandi, tidak ada WC, tidak ada perabotan-perabotan rumah tangga, dll.
(FYI : kami dijamu dengan air yang sangat segar yang disuguhkan di gelas bambu, karena gak ada gelas kaca apalagi mug, dan konon air itu diambil di sungai – tempat kami mandi, cuci, and pissss)
Ø Tidak boleh merokok, waktu mandi tidak boleh pakai sabun, tidak boleh menggunakan wewangian, tidak boleh memotret, dll.
Ø Mereka tidak memakai alas kaki, tidak makan daging (kecuali pada waktu upacara adat), mereka pantang naik kendaraan, dll.
Jadi kalau malam, di kampung ini gelap gulita. Di dalam rumah pun hanya ada setitik pelita dari minyak kelapa. Tak ada suara, tak ada kegaduhan.
Bintang-bintang di langit nampak dekat dan nyata. Rasi-rasi bintang begitu jelas. Suatu hal yang mustahil kita saksikan di langit Jakarta.
Masyarakat Baduy, memiliki kepercayaan dengan nama Sunda Wiwitan. Mereka mempunya filosofi sederhana :
”Pondok teu meunang disambung, nu lojor teu meunang dipotong”
(yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong).
Maknanya, masyarakat Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.